sebuah pesan
Terburu-buru, aku menutup semua celah yang ada. Air tak lagi menggenang, badai tak lagi menampar. Pun pagi ini, mata kubiarkan tertutup, walau hati berlari-lari. Di depan cermin ini kutemukan serpihan dirimu. Ada bekas-bekas yang menahun, yang mungkin kan kubawa sampai uzur. Pikirmu yang kadang membatu membuatku tak lagi merunut ulang, bahwa kau sungguhlah palu. Menghantam pucukku dan menanamku hingga mampus. Tak lagi bergeming lalu berhenti. Ketulusanmu tempo hari tak buktikan apapun dalam sisa hidup yang berbayang, samar-samar namun teramat silau, kau menjauh. Bersama derasnya waktu. Baik. Jauh, berlayarlah jauh. Sementara aku, kan masih coba tuk berlabuh. Tadi malam ada bulan merah jambu, bergelayut di bibir malam kelabu. Kokoh anggun, tak perduli pada angkuh. Kutersenyum padanya meski tak berbalas, lalu kubisikkan, ”besok, jangan kau tepis mentari yang datangnya dini” -sebuah catatan untuk yang tertinggal. Jakarta. 2008