Rumah Biru


Aku bergidik, lamat-lamat dari balik gunung lolongan itu manyayat sembilu. Ini hari terakhirku disini, di rumah biru di antara lembah ini. Sewindu sudah, namun rasanya hanya sekejap saja. Tak ikhlas aku mengalah dalam pertempuran. Di ujung tahun alat berat akan merubuhkannya rata dengan tanah, untuk dibangun kembali menjadi rumah jompo yang bersahaja. Ah, berat sangat rasanya, hati dan jiwaku terlalu melekat erat pada semua rongga dan celahnya, sungguh sarat makna. Kau salah satunya. Dengan cepat kutarik selimut ungu tutupi rebah, kupaksa kelopak mata menutup rapat, namun lagi-lagi wajahmu yang kudapat.

Angin lembah yang kencang menderu menghempas daun-daun pintu, sementara tangan-tanganku mengemas segala yang harus kukemas. Di perapian pembakaran kayu dan ranting kering pasrah meriah, titik-titik air yang terperangkap mendesis di antara api. Seisi rumah menghangat seiring harumnya kayu yang lamat-lamat. Aku terkulai, kupandangi setumpuk cendana yang tergolek di atas perapian, itu darimu;
Sore itu kutemukan wajahmu dari balik pintu, dan aku merengkuhmu dalam rindu yang tak kunjung surut. Penelitianmu ke Indonesia Timur membuat kita terpisah setengah tahun, dan kayu cendana itu menjadi buah tangan yang selalu menyejukkan batinku, yang mengharumkan setiap ayunan udara dalam rumah biru, yang serasa membuat sukmaku seiring sejalan denganmu.

Dalam kardus berlabel aku memilah-milah berkas. Beberapa kali hatiku terhibur menemukan tulisan-tulisan lama yang tak sempat kukirim pada perusahaan penerbit, segala yang tertuang di dalamnya adalah momentum saling silangku, dia, mereka, kita, hidup, alam, kau dan hujan. Ah ya, kau dan hujan, lagi.. Kutepis rasa yang berlarian kesana kemari, kulepas nafas ringankan pundakku yang menjadi berat. Dari balik jendela kupandangi langit malam itu, bersih namun gelap, walau bukan kelam, sebab langit mengandung jutaan galaksi yang menyamarkan keajaiban cinta bintang-bintang.

Seduhan coklat panas menemani beres-beresku di malam yang panjang. Jasa angkut telah mengosongkan hampir seluruh ruangan. Tinggallah kolase-kolase sakral yang harus dirapihkan dengan seksama. Ah, tak seharusnya aku mengumpulkan banyak memori dalam kertas seperti itu, terlalu banyak hal yang menghanyutkan bahkan menakutkan. Namun apa daya, mengabadikan cerita adalah bidangku, aku terlalu mencintai profesi ini, walau dalam banyak kesempatan, aku terperangkap sendiri. Bandul jam yang berdentang satu kali menghantar tatap mataku pada amplop putih yang tak kukenal, tanpa pengirim dan masih tersegel, dan anehnya tertuju untukku. Dari siapakah?

Dari teras yang menjorok keluar, aku menyapu pandangku pada langit malam. Sombongnya waktu mengantarku pada pusaran yang tak akan pernah mundur berjalan. Nafas-nafasku ringan walau pandangku buram, bulir-bulir hangat telahpun menggenangi pelupuk mata. Lampu malam di kaki gunung berpendar-pendar indah, jauh kulihat, jauh sekali, tak akan pernah lagi kutemukan dirimu yang berjalan pulang membelah malam. Karna esok, akupun tak akan kembali.

"Untukmu kekasih jiwa,
..Mungkin kau benar, semua yang ada di pulau ini telah menyita perhatianku dari apapun yang ada di luar sana. Dan lagi-lagi kau benar, aku terlalu menyanjungmu hingga tak memiliki keberanian melihat wajah itu jika kupulang untuk kemudian pergi. Yah, dan kau selalu benar tentangku, kau bahkan lebih memahami seluk beluk arah pikirku dari aku si pemiliknya sendiri. Sayang, maaf jika kali ini aku gagal untuk kembali. Maaf aku takkan pulang dan memelukmu lagi di rumah biru..”  -Sumba 1999

Comments

Popular posts from this blog

a little star

jump!

if i stay,