.tiga burung kecil.
Musim panas menjadi semakin panjang, sementara sayapku semakin lelah melayang-layang. Sangkarku yang terakhir ikut termakan si burung Elang, disangkanya aku masih terlalu kecil tak mampu sigap menghindari paruhnya dan memilih menyelamatkan diri. Dan disinilah aku sekarang, di bumi bagian Selatan yang tidak bersahabat, tandus dan tidak menjanjikan. Hah!
Sudah hampir dua pekan, terlunta-lunta aku mengharapkan sebatang pohon yang rindang, yang bisa memberiku ranting kuat untuk membangun sangkar yang nyaman, namun yang kutemukan hanyalah pohon tua yang kering, yang jangankan menampungku-menopang dirinyapun sudah pasti tak mampu.
Jauh disana, nanar kupandangi
mentari sore yang kian meredup. Kuseka keringatku yang bercucuran, aku haus,
mataku berkunang-kunang. Mungkin inilah detik-detik matiku. Oh ibu induk, aku
takut. Dan brak!
"Jangan makan aku.."
lirihnya saat mendarat. Setengah mati aku tersontak. Ia seperti sesuatu yang
terbuang dari surga.
"Siapa yang akan
memakanmu?" balasku masih setengah menganga
Burung aneh itu terdiam
menatapku, namun mendadak tangisnya pecah tak terbendung, ia merengek, hampir
saja aku tergiur untuk meminum air mata deras itu karena hausku yang sekarat.
"Kau datang darimana?"
tanyanya di sela isakan.
"Timur, kau?"
"Barat" ia melihatku
perlahan.
Wajahnya bukan hanya murung,
tapi juga berduka. Lalu ia terdiam, aku penasaran.
"Apa yang terjadi? Siapa
yang akan memakanmu?" selidikku.
"Oh, bodohnya aku! Aku
letih, tak menemukan pohon untuk beristirahat, aku tidur dan melayang-layang
dalam mimpi dimakan Gagak. Tiba-tiba aku terjerembab dan menemukanmu.."
adunya. Aku tertegun, kupandangi sayap hitamnya, lunglai sudah, untung
saja tak patah.
"Kau memang bodoh,
tidurlah!" usulku.
---
Aku terbangun karena lapar. Dan
secara ajaib tiga biji cermai ranum terhidang di depan kakiku yang kurus.
Mungkin benar aku sudah mati, dan aku terpilih berada di surga. Rakus aku
melahap cermai-cermai itu. Warnanya merah pekat, manis dan asin, setiap
gigitanku berbunyi krauk-krauk, ..Oh ibu induk.. aku kenyang!
"Dua cermai itu untukku dan
untuknya! Kau hanya boleh makan satu, bagaimana mungkin kau bisa setega
ini!" sebuah suara meneriakiku dari jauh. Cepat kutolehkan pandangku pada
arah suara, seekor burung kurus berbulu kuning sedang terbang rendah ke arahku,
takut cengkramannya menerjang wajah tirusku, aku berlari sekuat tenaga, ingin
terbang tetapi tulang sayapku masih terlalu lelah. Ah, aku belum mati rupanya!
Hoop! Ekorku dicengkram, aku
meronta melepaskan diri. Namun tiga cermai belum cukup pulihkan tenaga dan aku
menyerah.
"Makanlah aku,
makanlah.." aku pasrah.
"Hah!" ia mengibaskan
lengan sayapnya "Kau egois! Bagaimana kami bisa bertahan di musim lapar
ini?" ia bertolak pinggang, menatapku tajam.
"Kalau saja aku tahu, pasti
tak kusentuh cermai-cermai itu.." belaku.
Dan senyap. Aku bergetar dalam
rasa bersalah. Ingin rasanya memuntahkan cermai-cermai itu dan menyusunnya
kembali utuh. Tak berani kupandang kedatangan burung hitam yang menemani
tidurku malam tadi. Gontai langkahnya mendekatiku, "Maaf"
lanjutku.
"Kami harus makan, apa yang
bisa kau lakukan?" tanyanya lembut tanpa menghakimi.
"Akan kutebus kesalahanku, tunggu di sini" mantap kujawab. Aku berlari menuju tanah tandus yang cukup di depanku. Sesungguhnya aku tak yakin bisa menemukan cermai-cermai lain, atau cacing-cacing kepanasan, atau juga serangga segar di balik kulit-kulit kayu. Di bawah terik aku menerobos udara yang kering.
Satu jam berlalu tanpa hasil.
Aku seperti menghabisi nyawaku sendiri di tanah yang sebentar lagi akan
terbakar ini. Fatamorgana yang melambai-lambai menipu mataku akan sungai deras
yang jernih. Aku membayangkan dua temanku yang sedang menunggu, tunggu! Teman?
oh, pasti tidak buat mereka. Aku mengubah mimpi buruk ini menjadi malapetaka
yang nyata. Tertunduk aku meringkuk, jari-jari kakiku menjadi sangat kerdil,
kukunya pecah dan buluku lusuh seperti lampin busuk.
"Menjauhlah! Shooh!"
teriak sebuah suara. Aku terperanjat.
Seorang manusia mengendarai
truknya tepat ke arahku. Aaa! Belum sempat aku menghindar, tubuhku terpelanting
jatuh, aku pitam dan merintih. Samar-samar, ia meninggalkan truk besar
berisi gentong-gentong yang meninggalkan tumpahan air di atas tanah yang
tandus, ia berlari tergopoh-gopoh mendapatkanku.
"Oh, burung kecil.
Bertahanlah" ia menimangku dalam telapak tangannya yang besar. Ia
memeriksa sayap dan tengkukku, syukurlah aku baik-baik saja.
"Kau pasti kepanasan,
daratan ini tidak menjanjikan apapun lagi sobat.. ayo, minum"
disodorkannya air sebelum meletakkan remah-remah roti di dekat paruhku. Oh ibu
induk, betapa beruntungnya aku..
Manusia itu menyandarkan
tubuhnya pada sisi truk yang teduh, ia menghela nafas panjang. Ia lelaki
yang tinggi dan besar, seperti raksasa. Sementara aku, burung kecil yang
seketika saja bisa lumat dalam kepalannya. Meski lusuh, wajahnya cakap seperti
pangeran, pastilah ia lelah berkeliling padang tandus ini seharian. Matahari
yang terik belum juga selesai, aku hampir saja ikut tertidur di bawah
bayang-bayang gentong saat suara-suara yang mengoyak gendang telinga bergantian
mengusik keheningan.
"Cit! Citt! Cittt!"
burung-burung itu mengitari si manusia yang sudah terlelap.
"Shoo! Shoo!" manusia
itu terjaga, tangannya menggapai-gapai udara. Ia terheran-heran pada kicauan
yang tiba-tiba menyerang. Aku menajamkan pandangan, oh, itu si Kuning dan
si Hitam!
"Aah!" ia meringis, si
Hitam mencakar keningnya. Manusia itu bangkit dalam amarah, ia meraih tongkat
dan melayangkannya ke udara.
"Jangan..mereka adalah
teman-temanku.." teriakku melompat-lompat.
Tongkat itu tepat sasaran mengenai tubuh si Hitam, ia terperosok masuk ke dalam periuk air. Sedikit lagi saja, ia bisa mati dengan isi kepala yang terburai.
Si Kuning bertengger di kejauhan, lehernya bergerak-gerak mengatur nafas yang memburu. Ia menjaga jarak, waspada pada bahaya yang mungkin akan terulang lagi. Manusia itu menghapus pelipisnya yang luka, aku bisa melihat darah segar menyeruak dari balik kulitnya yang memerah. Ia berjalan ke arah Tenggara, berdiri berkacak pinggang memandangi hamparan tanah yang menenggak tumpahan air tanpa bekas. Sementara tak jauh dariku, meski masih terhuyung-huyung si Hitam perlahan mulai bangkit berdiri. Ia lalu mendesis, memanggil si Kuning. Tak ragu, si Kuning yang mengawasinya mendekat dengan terbang rendah, "hei, minumlah.." bisikku. Kami bertiga saling menatap, ada kelegaan yang tersirat ketika kami bisa bertemu kembali. Kemudian mereka membenamkan separuh tubuhnya dalam genangan kemewahan itu, tak ingin segera mengepakkan sayap dan tak ingin buru-buru kembali tersiksa dalam kekeringan.
"Aku menanam biji pohon di dalam tanah-tanah ini. Hujan sudah semakin jarang, maka aku mengairinya sendiri. Air dalam gentong-gentong ini kuambil dari aliran sungai yang semakin kering di samping rumah." lelaki itu mendekat dan bergumam. Ia meyakini dirinya bahwa kami mendengar dan memahami, ia ingin kami tahu bahwa kami akan tetap hidup. Meski harus sabar menunggu. Yah, setidaknya ia memberi harapan sebelum kami mendapati diri kami tak lama lagi mungkin mati terpanggang kaku.
---
Meski sinar matahari tak lagi
membakar, tiga pekan kemudian hujan yang dinantikan belum juga turun.
Pangeranku tak lagi tinggal di rumahnya, sepertinya ia memilih kembali ke Utara
yang lebih dingin. Sementara bagi kami bertiga kembali ke Utara yang jauh itu
sama saja bunuh diri. Aku, si Hitam dan Kuning memutuskan untuk menikmati
hari-hari kami di sini, di Selatan ini, menghabiskan hari-hari di pinggir
sungai, mematuk cacing kecil dan menelan pucuk rumput yang lembut. Tubuh kami
kembali pulih, di bawah sinar bulan dan mentari bulu-bulu kami memantulkan
kilap, cakar pun kembali kokoh. Si Hitam dan Kuning telah memaafkan perbuatanku
sejak lama, kami berteman dekat sekali. Kami bahagia menikmati simponi tumbuh
bersama menjadi burung betina dewasa yang jelita. Hari ini setelah berburu
ranting-ranting kecil, si Hitam tampak cemas mendatangiku, sayapnya
mengepak tak beraturan, wajahnya pucat.
"Ada apa?!" aku
menunggu tak sabar
"Terbanglah ke Barat sejauh
seratus meter, cepat!" pintanya. Perutku melilit, yang aku tau si Kuning
sedang mencari cermai, apakah sesuatu yang buruk menimpanya?
Aku terbang melesat meninggalkan
sarang baru di daun jendela, aku tak siap untuk berita buruk, jangan, oh ibu
induk..
"Lihat! Kita punya pohon!
Kita punya pohon!" si Kuning histeris. Ia menari-nari dengan sayapnya yang
terentang, dari kejauhan ia memeluk batang-batang pohon muda yang berdiri
sombong. Aku tak percaya. Pangeranku meninggalkan harta tak ternilai ini,
mewariskannya pada kami, untuk masa depan. Aku berguling, membenamkan kepalaku
dalam timbunan pasir dan menyeruduknya ke udara. Si Hitam menyusul dengan
manuver meliuk-liuk di udara. Laku kami saling mendorong, terjerembab dalam
gelak tawa dan merengkuh berpelukan di antara debu, kami merayakan hidup dan
berterima kasih pada alam, cakrawala, dan daun-daun mungil itu.
Comments