Matahariku Malu-Malu


Pagi itu kudapati dirimu lagi. Seperti biasa aku terhanyut. Pundakmu yang bidang tenggelam di antara mekarnya bunga-bunga musim semi, dan maaf jika sekonyong-konyong angankupun melayang bergelayut di antara lengan-lenganmu yang kekar dan mengecap seluruh rasanya tak bersisa. Salahkan dirimu untuk itu.
Kau mengenakan kemeja biru hari itu, warna favoritku. Dan sempurnamu menjadi purna. Ah tapi tidak, minggu kemarin dan dua minggu lalu hingga bulan-bulan sebelumnya, dalam warna-warna kemeja apapun yang kau kenakan, di mataku kau tetap saja memukau.. Hei! Dengarlah itu! Apakah kau juga mendengar ceracau segerombol burung gereja yang hinggap pada dahan-dahan itu? Seandainya kau tahu, mereka sedang merayakan semarak hati setiap aku menemukanmu di antara kelabat orang-orang yang menelusuri jalan setapak ini. Dan aku tersipu-sipu dari balik selendang ungu.
Teduhnya hatiku melihat wajahmu walau dari jauh membuatku lupa untuk berani menyapa, bertanya siapa nama untuk kupanggil dan dimana tinggal untuk kudatang. Namun apalah artinya jika setelah itu kau justru tak lagi menjadi seseorang yang dapat kukagumi, diam-diam.

Hari ini lain lagi. Caramu membawa diri yang bersahaja tampilkan gagahmu yang sejujurnya, selalu. Dan lagi seperti biasa, kudapati senyummu yang meruntuhkan segala lelah sepanjang minggu yang penuh.
-Hai kau tampan, sudikah kau melihatku sesaat? Karena dari mata itu ingin kulihat pantul wajah dunguku yang tersihir oleh seluruh kharismamu-
Bagaimana kau bertransformasi menjadi penyegar jiwaku yang penat dalam banyak waktu sebelum, sekarang dan entah sampai kapan nanti adalah misteri hidup yang tak perlu kutahu jawabnya. Meski sementara hebatnya kau bagiku, aku bagimu hanyalah abu-abu.

*

Matahariku malu-malu. Pagi itu kudapati dirimu lagi. Seperti biasa aku pasrah terhanyut. Jelita wajahmu di antara semaraknya warna-warni ceria, dan maaf jika sekonyong-konyong angankupun melayang mencari wajahmu di antara helaian rambut yang terayun kian kemari tertiup angin musim semi, yang ketika kudapati wajah itu kubaca senyummu sebagai kalimat “..kaulah yang aku cari..”. Oh cantikku, salahkan dirimu untuk itu.
Dalam kemeja putih tipis kau mengenakan selendang ungu, bukan warna favoritku. Namun di mataku kau tetap saja tak bercela.. Hei! Dengarlah ceracau segerombol burung gereja yang hinggap pada dahan-dahan itu! Seandainya kau tau, mereka sedang merayakan semarak hati setiap aku menemukanmu duduk di antara kelabat orang-orang yang mampir di ujung jalan setapak ini.
Teduhnya hatiku melihat wajah manismu walau dari jauh membuatku lupa untuk berani menyapa, bertanya siapa nama untuk kupanggil dan dimana tinggal untuk kudatang,  agar dapat kubawakan bunga segar untukmu dan menyelipkan pesan azimuth bahwa kaulah si pencuri hati. Ah, namun apalah artinya jika setelah itu kau justru tak lagi menjadi putri yang dapat terus aku kagumi, diam-diam.

Hari ini lain lagi. Caramu membawa diri tampilkan anggunmu yang sejujurnya, selalu. Dan lagi seperti biasa, kudapati senyummu yang meruntuhkan segala lelah sepanjang minggu yang penuh.
-Hai kau pencuri, sudikah kau melihatku sesaat? Karena dari mata itu ingin kulihat pantul wajah dunguku yang tersihir oleh seluruh kharismamu-
Bagaimana kau bertransformasi menjadi penyegar jiwaku yang penat dalam banyak waktu sebelum, sekarang dan entah sampai kapan nanti adalah misteri hidup yang tak perlu kutahu jawabnya. Meski sementara hebatnya kau bagiku, aku bagimu hanyalah abu-abu.

Matahariku malu-malu, terangnya tak sanggup menghidupkan bayangku melintasi tembok-tembok kaku. Dan langkahku terhenti ketika awan kelabu tinggalkan berjuta titik air yang berpacu turun ke atas bumi. Dan ada kau di situ, di ujung persimpangan itu, lelaki yang kukagumi sekian dasawarsa ini. Namun apa daya kau tak mengenaliku, kita bersisihan sebagai orang asing yang menggenapi hiruk pikuk gempita hidup ini. Sebulir air mataku jatuh, dan hujan menyembunyikannya.

Comments

Popular posts from this blog

a little star

jump!

if i stay,